Jumaat, 4 April 2014

Kerabu Bersuara ®

Kerabu Bersuara ®


MENJAWAB TUDUHAN MAJLIS MAULID DAN QASIDAH ADALAH BIDA'AH MEMUJA RASULULLAH SAW MELEBIHI MEMUJA ALLAH SWT : HUJJAH ILMIAH

Posted: 04 Apr 2014 08:55 AM PDT

Para pecinta Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam semakin hari semakin bertambah rasa rindu dan cinta mereka kepada beliau. Mereka semakin mengenal sosok makhluk yang diistimewakan oleh Allah Ta'alaa, mereka semakin mengetahui sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka semakin bersemangat untuk berusaha mengikuti langkah-langkah mulia Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ini semua tidak ada lain dan bukan adalah hasil perjuangan dakwah para ulama kita yang peduli kepada umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang selalu menyeru umatnya kembali dalam manhaj nubuwwah, jalan yang lurus. Mereka berdakwah di setiap keadaan, di setiap tempat dengan berbagai macam sarana dakwah yang kreatif yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga kini. Salah satunya dengan membacakan sejarah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang sudah banyak terbukukan, baik dalam bentuk prosa maupun syair atau qasidah. Kemudian dibarengi dengan pemukulan rebana yang teratur dan seirama dengan lantunan qasidah-qasdiah yang berisikan pujian kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Sehingga membuat hati yang hadir terharu mendengarnya, sedih atau susah mendengar perjuangan berat Nabi, sedih karena tidak mampu membalas jasa perjuangan Nabi, rindu karena ingin sekali berjumpa dengan Nabi walau hanya dalam mimpi.

Di saat kaum muslimin itu sedang penuh semangat dan rindu yang bergelora dalam majlis-majlis mauled mereka, ada sebagian orang kerdil yang mengusik program sarana dakwah tersebut, dengan tuduhan-tuduhan buruk dan tak pantas terlontarkan sebagai umat Islam. Mereka menuduh mauled bid'ah sesat, mereka mengatakan melantunkan qasdiah atau nasyid di dalam masjid itu bid'ah sesat, mereka mengatakan memukul rebana di dalam masjid itu haram dan bid'ah sesat. Berikut kami akan menjawab tuduhan-tuduhan keji mereka tersebut…
Masalah maulid telah kami bahas tuntas di artikel-artikel sebelumnya mulai isu tarikh kelahiran Nabi, sejarah peringatan Maulid, dan bantahan ilmiyyah lainnya yang terkait maulid.

Adapun isu membaca qasidah atau nasyid islami yang berisikan pujian kepada Nabi dan ungkapan rasa syukur kepada Allah di dalam masjid, maka kami jawab sebagai berikut :
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair atau qasidah di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ

" Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, "Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, 'aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.' Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. 'Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.' Abu Hurairah lalu menjawab, 'Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).' " (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa'i [709] dan Ahmad [20928]).

Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma'il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair atau qasidah yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.[1]

Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, sarana dakwah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah Ta'ala, pujian kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dzikir dan nasihat.

Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair atau qasidah yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana, kadang larut dalam keridnuan dan kecintaan kepada Allah dan Nabi hingga meneteskan air mata. Ini merupakan suatu hal yang baik dan bahkan dianjurkan dalam hal mengingat Allah dan Rasul-Nya.

Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu (bosan) yang kadang muncul ketika duduk lama di dalam majlis. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca qasidah pujian, nasehat, atau doa secara dilantunkan bersama-sama di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing. Faktanya pada saat acara, seluruh maysarakat mulai masyarakat setempat, pengurus dan takmir masjid juga para panitia atau pun masyarakat yang diundang, sudah sepakat dalam mengkondisikan suasana. Maka hal ini tidak akan menimbulkan gangguan kepada masyarakat setempat

Hukum memukul rebana di dalam masjid:

Imam al-Ghazali mengatakan :

فهذه المقاييس والنصوص تدل على إباحة الغناء والرقص والضرب بالدف واللعب بالدرق والحراب والنظر إلى رقص الحبشة والزنوج في أوقات السرور كلها قياسا على يوم العيد فإنه وقت سرور وفي معناه يوم العرس والوليمة والعقيقة والختان ويوم القدوم من السفر وسائر أسباب الفرح وهو كل ما يجوز به الفرح شرعا ويجوز الفرح بزيارة الإخوان ولقائهم واجتماعهم في موضع واحد على طعام أو كلام فهو أيضا مظنه السماع

" Segala qias (analogi) dan dalil-dalil tadi, menunjukkan kepada pembolehan menyanyi, menari, memukul genderang, bermain perisai dan lembing dan melihat tarian orang Habsyi dan orang hitam pada waktu-waktu kegembiraah, diqiaskan (di-analogi-kan) kepada hari lebaran. Karena hari lebaran itu adalah hari kegembiraan.

Dan yang searti dengan hari lebaran, ialah : hari perkawinan, hari pesta kawin (walimah), 'aqiqah,. pengkhitanan, hari kedatangan dari perjalanan jauh (musafir) dan sebab-sebab kegembiraan yang lain. Yaitu : semua yang diperbolehkan kegembiraan pada Agama. Dan boleh bergembira dengan mengunjungi teman-teman, menjumpai dan berkumpul dengan mereka pada suatu tempat, untuk makan-makan atau bercakap-cakap. Maka itupun tempat dugaan boleh mendengarnya juga."[2]
Beliau juga mengatakan :
العارض الثاني في الآلة بأن تكون من شعار أهل الشرب و المخنثين وهي المزامير والأوتار وطبل الكوبة، فهذه ثلاثة أنواع ممنوعة وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه الجلاجل. وفي كتاب إتحاف السادة المتقين لمرتضى الزبيدي الفقيه المحدث الحافظ ما نصه: وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه جلاجل

" Sisi keadaan kedua dari alat as-Sima' yang menyebabkan as-Sima' itu haram yaitu alat atau perkakas itu menjadi simbul peminum khomr atau orang yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Yaitu : serunai, rebab, dan genderang yang kecil tengahnya. inilah tiga macam pekakas yang terlarang. Dan selain dari itu, tetap pada hokum aslinya yakni diperbolehkan. Seperti : rebana, walaupun ada padanya genta ".[3]

Imam an-Nawawi dan ar-Rafi'I memperbolehkannya :

قال الشيخان، أي الرافعي والنووي رحمهما الله تعالى: حيث أبحنا الدف فهو فيما إذا لم يكن فيه جلاجل، فإن كانت فيه فالأصح حلّه أيضًا

" Dua syaikh yakni ar-Rafi'I dan an-Nawawi rahimahumallah mengatakan, " Sekiranya kami telah memperbolehkan rebana yakni yang tidak ada gentanya, tapi jika ada gentanya maka pendapat yang sahih pun juga membolehkannya ".[4]


وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا

" Hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana di masjid-masjid, dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. Adapun penukilan hal itu dari ulam salaf, maka telah berkata seorang wali Abu Zur'ah dalam Tahrirnya bahwa itu sah dari syaikh Izzuddin bin Abdissalam dan Ibnu Daqiq al'Iid, dan keduanya adalah pemimpin ulama mutakhkhirin dalam segi keilmuan dan kewara'annya, sebagian mereka juga menukilnya dari syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi rahimahullah, dan cukup dengannya seorang ulama yang wara' dan mujtahid ".[5]

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

إن النبي صلى الله عليه وسلم جاءته امرأة يا رسول الله : إني نذرت إن رد الله ابني من السفر سالما أن أضرب على رأسك بالدف في المسجد وقد قدم ابني من السفر فقال لها أوفي بنذرك وضربت عليه الدف في المسجد

" Sesungguhnya Nabi SAW didatangi oleh seorang wanita, dan berkata, "Ya Rasulallah.. seungguhnya saya bernadzar, bila Allah mengembalikan putraku dengan selamat dari perjalanan, maka saya akan memukulkan rebana diatas kepala anda didalam masjid, dan putra saya sekarang sudah kembali. Maka Rasulullah berkata padanya, "Laksanakanlah nadzarmu." Dan perempuan itu lantas memukul rebana diatas Nabi SAW didalam masjid."

Dari sinilah maka hukum memukul rebana di dalam masjid adalah boleh. Meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, maka tidak sedikit ulama lain yang alim dan wara' yang membolehkannya sebagaimana telah kami sebutkan di atas. Maka silakan yang memilih fatwa haram untuk tidak melakukannya, namun jangan melarang kami yang melakukannya apalagi sampai menuduh kami telah berbuat bid'ah sesat. Karena ini hanyalah masalah fiqhiyyah yang masih ada ruang ijtihad di Antara ulama.

Qasidah syirik dan bid'ah.

Baru-baru ini ada di Antara mereka yang menuduh bacaan qasidah yang biasa dilantunkan jama'ah mauled yaitu " Ya Hanana " adalah syirik dan bid'ah. Jelas ini tuduhan yang tidak berdasar sama sekali yang timbul semata-mata dari hawa nafsu mereka saja.

Andai saja mereka bersifat bijak dengan membaca makna-makna bait dari qasidah tersebut, niscaya mereka akan malu dan tahu bahwa makna dari qasidah tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah. Kita simak…


يَا هَنَانَا

" Betapa Beruntungnya Kami "

ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد بِظُهُورِالنَّبِى اَحمَد

" Telah muncul agama yang didukung, dengan munculnya sang Nabi Ahmad "

يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله

" Betapa beruntungnya kami dengan Muhammad (Saw), itulah anugerah daripada Allah SWT "

يَا هَنَانَا

" Betapa Beruntungnya Kami "

خُصَّ بِالسَّبعِ المَثَانِى وَحَوى لُطفَ المَعَأنِى

" Diistimewakan dengan as-Sab'ul Matsany (al-Fatihah), penghimpun rahsia bagi setiap makna "

مَالَهُ فِى الخَلقِ ثَانِى وَعَلَيهِ اَنزَلَ الله

" Tidak ada yang senilai dengannya, dan Allah mewahyukan kepadanya (Muhammad SAW) "

يَا هَنَانَا

" Betapa Beruntungnya Kami"

مِن مَكَّةٍ لَمَّا ظَهَر لِاَجلِهِ انشَقَ القَمَر

" Ketika di Makkah bulan tampak terbelah deminya (Muhammad SAW) "

وَافتخَرَت الُ مُضَر بِهِ عَلى كُلِّ الاَنَام

" lalu kabilah Mudhar (kabilah Muhammad SAW) dibanggakan oleh seluruh manusia ".

يَاهَانَانَأ

" Betapa beruntungnya kami "

اَطيَبُ النَّاسِ خَلقًا وَاَجَلُّ النَّاسِ خُلُقُا

" Beliau adalah manusia yang terbaik ciptaanNya, dan teragung akhlaknya ".

ذِكرُهُ غَربًا وَشَرقًا سَائِرٌ وَالحَمدُ لِله

" Semua manusia di Barat dan Timur menyebutnya, segala puji hanya bagi Allah SWT "

يَاهَنَانَا

" Betapa beruntungnya kami "

صَلُّوا عَلى خَيرِ الاَنَام المُصطَفَى بَدرِالتَّمَام

" Berselawatlah ke atas sebaik-baik manusia (Muhammad SAW) yang terpilih, sang bulan purnama "

صَلُّوا عَلَيهِ وَسَلِّمُوا يَشفَع لَنَأ يَومَ الزِّحَام

" Sampaikanlah salam kepadanya, moga diberi syafaat di hari kebangkitan ".

يَا هَنَانَا

" Betapa beruntungnya kami "

Di mana makna yang mengandung kesyirikan atau kesesatan ?? dalam bait qasidah di atas tidak lebih mengandung beberapa hal yaitu :

1. Rasa gembira dengan wujudnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan anugerah dan keutamaan dari Allah untuk umat Manusia khususnya kaum muslimin. Ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala :

قل بفضل الله وبرحمته فبذالك فاليفرحوا

" Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira." (QS. Yunus : 57). Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu menfasirkannya : " Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad ".[6]

Beliau juga merupakan karunia agung yang Allah berikan untuk kita dan patut kita syukuri, dalam hadits disebutkan :

عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُولَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: «مَا أَجْلَسَكُمْ؟» قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَابه، قَالَ: «آ? مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ». قَالُوا: وَالله! مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ قَالَ: «أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ المَلاَئِكَةَ

Dari Mu'awiyyah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam keluar mendatangi perkumpulan majlis sahabatnya lalu berkata, " Hal apa gerangan yang membuat kalian berkumpul di majelis ini ? ". Para sahabat menjawab, " Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama Islam dan atas karunia yang diberikan-Nya dengan sebabnya ".Nabi bertanya kembali : "Demi Allah, apakah tidak ada hal lain lagi yang membuat kalian berkumpul di majelis ini selain hal itu? " para shahabat menjawab, " Demi Allah, tidak ada hal lain yang membuat kami berkumpul selain itu semua". Nabi bersabda kepada mereka : "Sesungguhnya aku tidaklah bersumpah untuk suatu keburukan, akan tetapi sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengkhabarkan bahwa para malaikat sangat berbangga dengan kalian semua ".[7]

Dari hadis ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : dibolehkannya berkumpul untuk berzikir dan berdoa, dibolehkannya membuat majelis tertentu untuk memperingati karunia hidayah dan syukur terhadap nikmat, dibolehkannya berkumpul untuk bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa diutusnya Nabi Muhammad Shallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ucapan para sahabat "Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk memanjatkan doa kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama kita dan atas karunia yang diberikan-Nya. Bukankah Nabi Muhammad yang menjadi sebab kita mendapat hidayah Islam bahkan menjadi umat yang paling utama dari semua umat lainnya ??

2. Mengungkapkan bahwa beliau makhluk yang paling baik akhlak dan fisiknya. Ini juga sesuai dengan hadits Nabi sendiri :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجهاً وأحسنه خلقاً،

" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah paling bagusnya manusia dari segi wajah dan akhlaknya ". (HR. Muslim)

3. Mengungkapkan bahwa nama beliau disebut-sebut oleh semua manusia sama ada barat ataupun Timur. Ini sangat banyak sekali dalilnya, bahkan merupakan perintah dari Allah untuk bersholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan setiap waktu bahkan setiap saat di dunia ini selalu disebutkan nama Nabi Muhamamd shallahllahu 'alaihi wa sallam melalui lantunan adzan sholat lima waktu. Jelas sudah qasidah ini sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah, hanya orang bodoh yang menuduhnya syirik atau sesat. Naudzu billahi min dzaalik…

Shofiyyah an-Nuuriyyah
Pasuruan, 1-4-2014

[1] Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16

[2] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/276

[3] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/300-301

[4] Kaff ar-Ria'a ;an Muharramat al-Lahwi wa as-Sima', Ibn Hajar al-Haitsami : 45

[5] Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra : 10/296

[6] Ad-Durr al-Mantsur, as-Suyuthi : 7/668

[7] Ditakhrij imam Muslim. Disebutkan dalam Tahdzib al-Kamal, al-Mizzi : 3196


AL FAKIR Muhammad Fazilul Helmi Raidzan

Tragedi Memali: Selamatkan Musa, salahkan Mahathir?

Posted: 04 Apr 2014 08:44 AM PDT



Laporan Tun Musa Hitam mendedahkan yang Tun Dr Mahathir Mohamad berada di Malaysia - dan bukan di China seperti diterima selama ini - semasa peristiwa Memali pada 19 November, 1985 telah mencetuskan satu kegemparan baharu dalam politik negara.

Kegemparan, atau kekecohan ini berlaku akibat satu pemahaman dan tanggapan baharu berhubung isu ini, yang dari sudut tertentu terpisah daripada gambaran keseluruhan sejarah peristiwa berdarah itu.

Satu persepsi yang kelihatan agak berleluasa ialah kecenderungan seolah-olah menyelamatkan Musa daripada dosa Memali dan pada masa sama mengambil kesempatan daripada pendedahan ini untuk meletakkan Mahathir dalam posisi defensif.

Pemahaman baharu ini telah membawa satu perspektif yang tidak tepat dalam menilai peristiwa yang telah lama dijadikan bahan untuk menilai PAS secara negatif itu.

Pertangungjawaban berhubung tragedi itu perlu dikongsi secara kolektif oleh pemimpin-pemimpin pemerintah pada masa itu, kerana hal ini tidak boleh dielakkan.

Apa yang berlaku di Memali perlu dinilai sebagai satu tindakan kolektif pentadbiran Mahathir pada masa itu, dan dilihat berdasarkan realiti pada masa itu.

Perkembangan terkini telah banyak merubah pandangan tentang peristiwa Memali, termasuk kemungkinan aliansi politik baharu melibatkan Musa dan usaha mengeksploit peristiwa itu untuk kegunaan politik pada masa ini.

Pendedahan Musa ini dilihat dari satu sudut perkembangan politik terkini menjadi satu senjata terbaharu musuh-musuh politik Mahathir untuk menyerang bekas perdana menteri itu.

Pada masa sama, pendedahan ini juga memainkan peranan dalam pemulihan imej Musa yang kelihatan telah semakin diterima ramai dalam kalangan pembangkang, terutama kumpulan yang berhaluan liberal.

Musa kelihatan semakin diterima ramai pihak yang tidak sehaluan dengan parti pemerintah kerana imejnya yang masih relatif baik, dan dinilai sebagai seorang tokoh yang melangkaui sentimen politik kepartian.

Dan pada peringkat yang lebih rendah, beliau diterima baik kerana kesediaannya bertembung dengan Mahathir dalam hal ini.

Suasana politik tahun 1980-an menyaksikan pertembungan sengit Islamis dengan kelompok sekular, yang jauh lebih sengit dan ganas, berbeza dengan suasana sekarang yang menyaksikan garis pemisah ideologi yang lebih kabur antara Islamis PAS dan etnonasionalis sekular Umno.

Pertembungan PAS dan Umno pada masa itu hampir tidak ada pengecualian ialah pertembungan ideologi yang sengit, menyaksikan Umno yang sekular memusuhi kuat pegangan Islam PAS, dengan hujah-hujah yang jelas menunjukkan penolakan.

Memudahkan penilaian Memali dengan menumpukan pada peranan Mahathir dan Musa, misalnya untuk melihat siapa yang sebenarnya lebih bertanggungjawab hanya melarikan daripada isu besar yang sebenarnya menjelaskan pertembungan di Memali. - April 1, 2014

Siasahdaily

Terkini! Kenyataan Media Tun Musa Hitam Berkaitan Isu Mahathir Dan Memali

Posted: 03 Apr 2014 10:43 PM PDT



Memali: Penjelasan panjang Musa Hitam

Musa Hitam

Pada jam 9.00 malam 27 Mac 2014, saya bersama YB Husam Musa adalah dua ahli panel dalam majlis diskusi anjuran kerajaan negeri Kelantan bertemakan "Politik Malaysia: Dahulu dan Sekarang". Profesor Dr Agus Yusoff dari Universiti Kebangsaan Malaysia berperanan sebagai moderator.

Format diskusi menyamai program "Hard Talk" BBC London yang meletakkan syarat bahawa ahli panel tidak dibenar menggunakan skrip atau nota lebih awal tetapi bersedia menghadapi apa
juga soalan yang diajukan oleh moderator.

Sepanjang dua jam, moderator diskusi bersikap combative, aggresive serta provocative. Dalam pada itu saya akui bahawa moderator memperlihatkan sifat saksama, berkecuali dan tidak partisan.

Di penghujung diskusi, saya telah diajukan soalan berkaitan peristiwa Memali yang dapat saya rumuskan berpusat kepada tiga perkara berikut:

1. Pengesahan saya bahawa pada hari peristiwa Memali berlaku, Tun Dr Mahathir berada di negara China dan saya adalah pemangku perdana menteri.

2. Saya bertanggungjawab sepenuhnya kepada peristiwa tersebut.

3. Bagaimanakah perasaan saya dengan peristiwa Memali.

Saya telah memberi respons kepada soalan yang diajukan berteraskan empat aspek berikut:

1. Saya menegur moderator dengan mengatakan sebagai seorang profesor, sesuatu perkara yang disuarakan hendaklah berasaskan penyelidikan mendalam dan fakta yang tepat.

2. Pada hari peristiwa Memali (iaitu 19 November 1985) Dr Mahathir berada di Kuala Lumpur dan saya bukannya pemangku perdana menteri.

Moderator menunjukkan reaksi terkejut dan dengan suara yang jelas melafazkan perkataan "my god" yang mengejutkan hadirin.

3. Sebagai menteri dalam negeri saya telah menggariskan panduan umum, memberi ingatan dan mengarahkan pihak polis tentang dua perkara:

(i) Proses undang-undang hendaklah dipatuhi.
(ii) Elakkan kekerasan (violence) dan pertumpahan darah.

Namun saya mengambil tanggungjawab dan akauntabiliti terhadap kejadian yang berlaku walaupun saya tidak terlibat secara langsung tetapi menyerahkan kepada budi bicara pihak polis untuk melaksanakan operasi dari segi menentukan waktu terbaik ianya dilakukan serta kaedah dan pendekatan untuk melaksanakan operasi.

4. Saya berterus terang dan dengan ikhlas serta penuh insaf mengaku bahawa titik hitam dalam sejarah karier politik saya ialah peristiwa Memali.

Dalam ruang masa yang diberikan oleh moderator, saya telah menghuraikan urutan peristiwa yang berlaku. Pada hari kejadian, saya bersama pemangku ketua polis negara (KPN) telah menemui perdana menteri di pejabat beliau dan pemangku KPN telah memberikan taklimat tentang perkara yang berlaku berikutan operasi polis di Memali yang melibatkan kematian empat anggota polis dan 14 orang awam.

Dalam pertemuan tersebut saya memohon agar Dr Mahathir menangguhkan program lawatan ke Negara China atas tiga sebab:

1. Peristiwa ini berlaku di negeri Kedah; negeri perdana menteri sendiri.

2. Peristiwa ini melibatkan orang Melayu beragama Islam.

3. Dengan menangguhkan lawatan ke Negara China, Dr Mahathir memperlihatkan sifat ia mengutamakan dan mengambil berat terhadap peristiwa yang telah berlaku di dalam negeri.

Dr Mahathir membuat keputusan untuk tetap berlepas ke negara China. Saya telah memaklumkan kepadanya cadangan saya untuk membentangkan peristiwa Memali di Parlimen. Di samping itu, saya turut meminta agar semua media, termasuk media luar negara memberi saya ruang 24 jam untuk membolehkan saya mendapat gambaran lebih tepat lagi lengkap. Saya telah membentangkan peristiwa Memali di Dewan Rakyat pada keesokan harinya (20 November 1985) dan selanjutnya
mengadakan perjumpaan media.

Kesimpulannya ialah:

1. Bukan niat saya mahu mencetuskan polemik baru berkaitan Memali. Ia dihidupkan semula berikutan respons saya kepada soalan yang diajukan oleh moderator dalam program diskusi yang diadakan.

2. Isu utama dalam perkara ini adalah fakta, sama ada pada hari peristiwa tersebut berlaku, saya menjawat jawatan pemangku perdana menteri kerana Tun Dr Mahathir berada di luar negara. Berdasarkan penyelidikan daripada bahan-bahan rujukan yang masih dapat saya temui, nyatalah Tun Dr. Mahathir berada di dalam negara pada hari tercetusnya peristiwa Memali, dan saya tidak memangku jawatan perdana menteri pada hari tersebut.

3. Sewaktu berlangsung prosiding kes dakwaan saya terhadap seorang penulis di Mahkamah beberapa tahun lalu di mana dalam kes ini saya berjaya, (ketika itu Tun Dr Mahathir masih perdana menteri), peguam bela bertanya dua soalan yang serupa, sama ada Dr Mahathir berada di dalam negara pada hari peristiwa Memali berlaku dan adakah saya memangku jawatan perdana menteri. Jawapan konsisten saya berikan bahawa beliau berada di dalam negara dan saya tidak memangku jawatan Perdana Menteri. Tetapi tidak ada media yang sedia melaporkan fakta ini.

Sekian lama saya dicerca, dicela dan dinista mengenai peristiwa Memali oleh pelbagai pihak terutama oleh parti PAS. Seingat saya, apatah lagi selepas saya berundur daripada jawatan menteri; tidak ada pihak baik daripada kerajaan, begitu juga parti Umno yang saya anggotai bersedia menyuarakan fakta yang benar.

Saya pernah menawarkan diri untuk mengadakan wawancara eksklusif dengan media khusus atas subjek peristiwa Memali, tetapi tidak ada pihak media yang bersedia berwawancara dengan saya. Saya sedar dan memahami ketika itu tidak ada pihak yang bersedia berhadapan risiko untuk bercakap perkara yang boleh dianggap menyentuh kedudukan dan batang tubuh seorang perdana menteri yang sedang berkuasa.

Sekian lama saya berseorangan untuk mendapatkan keadilan namun saya terus berdoa dan akhirnya program diskusi di Kelantan saya sifatkan sebagai anugerah ilahi memakbulkan doa saya. Ruang tersebut memberikan saya peluang untuk memperbetulkan fakta sejarah akan peristiwa penting yang melibatkan diri saya.

Saya bersyukur ke hadrat Ilahi yang telah memberikan peluang tersebut kepada saya.

Saya sedar perkembangan terbaru ini telah menjemput pelbagai ulasan dan pandangan secara positif dan secara negatif, tidak terkecuali yang berbentuk tohmahan, tuduhan dan fitnah baru ke atas diri saya. Saya serahkan segala-galanya kepada Allah yang Maha Mengetahui akan kebenaran dan kepada-Nya saya memohon petunjuk dan keadilan.

Melampau-lampau Berzikir Kepada Nabi adalah ditegah

Posted: 03 Apr 2014 05:26 PM PDT



Sufi dan tarekat tasawuf dalam membudayakan zikir jaharnya. Mereka turut meletakkan lafaz pujian kepada Nabi dengan perkataan yang ghuluw (melampau) sehingga ada yang seakan-akan menganggap nabi seperti Tuhan. Sedangkan Nabi sendiri telah melarang perbuatan seperti itu. Di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah mengingatkan di dalam salah satu hadisnya sebagaimana berikut:

"Janganlah kamu melampaui batas dengan mengagung-agungkan aku sebagaimana kaum Nashrani telah melakukannya terhadap Isa anak Mariam. Sesungguhnya tiadalah aku melainkan seorang hamba, maka katakanlah, "(Muhammad) Hamba dan Pesuruh Allah"." (Hadis Riwayat al-Bukhari)

Manakala berkenaan tambahan-tambahan lafaz di dalam sebahagian selawat ke atas nabi dengan tambahan Sayyidina, maulana, habibina, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sendiri menjelaskan di ketika mana ada seorang lekaki memanggilnya dengan panggilan "Ya Sayyidina ibni Sayyidina":

"Wahai manusia, hendaklah kamu bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya engkau adalah Muhammad bin 'Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya, dan aku bersumpah kepada Allah bahawasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah 'Azza wa Jalla tentukan bagiku." (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, no. 12551)

Dalam perkara ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyatakan:

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah (imam besar Mazhab Syafi'i – pen.) pernah ditanya berkenaan kalimat selawat untuk Nabi yang dibaca dalam solat dan di luar solat, sama ada yang wajib atau pun yang sunnah/sunat:

"Adakah dalam ucapan selawat itu disyari'atkan menggunakan kata-kata Sayyid, seperti orang mengatakan "Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad" atau "'ala sayyidina khalqi" atau "'ala sayyid waladi" atau hanya menggunakan kata-kata "Allahumma shalli 'ala Muhammad". Manakah yang lebih baik daripada ucapan-ucapan itu? Apakah digunakan kata-kata sayyid atau tidak menggunakannya kerana tidak tersebut dalam hadis-hadis."

Jawab al-Hafiz Ibnu Hajar: "Benar, mengucapkan lafaz-lafaz selawat sebagaimana tersebut dalam riwayat hadis adalah yang benar. Janganlah sehingga ada orang yang mengatakan Nabi tidak menggunakan kata-kata sayyid dalam bacaan selawat hanya disebabkan sikap rendah diri (tawadhu') sahaja sebagaimana juga tidak layak ketika orang mendengar disebut nama Nabi tidak menyahut dengan ucapan shalallahu 'alaihi wasallam. Semua orang Islam dianjurkan untuk mengucapkan kata tersebut setiap kali mendengar sebutan nama Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Saya (Ibnu Hajar) menyatakan bahawa sekiranya benar bahawa ucapan sayyid itu ada, niscaya disebutkan dalam riwayat dari sahabat dan tabi'in. Akan tetapi, saya (Ibnu Hajar) tidak menemukan adanya riwayat seperti itu dari seorang sahabat atau tabi'in pun, padahal begitu banyak cara bacaan selawat yang diterima dari mereka. Al-Syafi'i rahimahullah sebagai seorang yang sangat memuliakan Nabi shalallhu 'alaihi wasallam juga tidak menyebutkan kata sayyidina dalam awal pembukaan (muqaddimah) kitabnya. Padahal al-Syafi'i adalah contoh ikutan para pengikut mazhabnya. Beliau (al-Syafi'i) hanya menyebutkan "Allahumma shalli 'ala Muhammad." (Dinukil dari Syaikh Muhammad Nashidruddin al-Albani, Kitab Sifat Sholat Nabi, , Terbitan Media Hidayah, m/s. 215-216)

Bagaimana Mencintai Rasulullah?
Sebagai umat Islam kita perlu sentiasa merasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kerana telah dikurniakan nikmat yang besar berupa hidayah Islam, hidayah hidup di atas sunnah, dan terhindar dari pelbagai bentuk kefahaman hidup yang menyimpang.

Ini antaranya adalah berkah dan rahmat yang diberikan oleh Allah melalui kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Atas sebab usaha-usaha kerasulan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Islam pun sampai kepada kita sehingga hari ini. Atas usaha beliau dan nikmat yang besar inilah kita sebagai umat Islam memiliki kecintaan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Pertama-tamanya, marilah kita fahami bahawa mencintai Nabi itu adalah termasuk ke dalam hakikat iman. Ini adalah sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berikut,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidak sempurna iman seseorang kamu sehinggalah aku menjadi orang yang paling dia cintai melebihi hartanya, keluarganya, dan seluruh manusia yang lainnya." (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab al-Iman, 1/24, no. 14)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (maksudnya),

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Katakanlah, "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbang akan merugi, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq." (Surah at-Taubah, 9: 24)

Keduanya, mencintai dan mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah termasuk tuntutan mencintai Allah berdasarkan ayat berikut (maksudnya),

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah (wahai Muhammad), "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu." Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surah Ali Imran, 3: 31)

Juga firman Allah (maksudnya),

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu contoh tauladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Surah al-Ahzaab, 33: 21)

Dengan menghayati maksud ayat-ayat di atas, adakah kita telah mengikuti contoh sebagaimana yang dikehendaki bagi merealisasikan fokus mencintai Allah dan Rasul-Nya? Adakah kita telah benar-benar mengikuti dan mencontohi Nabi dalam beragama? Adakah apa yang telah kita lakukan dalam amal-amal beragama kita selama ini menepati sebagaimana yang ditunjuk-ajarkan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam?

Maka dengan ini, apa yang pertama-tamanya lagi prioriti adalah supaya kita sentiasa menyemak bagaimana kita bertauhid, apakah telah benar sebagaimana Nabi kita mengajarkannya. Kerana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (maksudnya), "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan ingkarilah thaghut"." (Surah an-Nahl, 16: 36)

Al-Haafiz Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) dalam tafsirnya menjelaskan, "Pada setiap zaman, para rasul diutuskan untuk menyeru manusia beribadah hanya kepada Allah dan melarang beribadah kepada selain-Nya. Allah Ta'ala bertindak mengutus para Rasul kepada manusia dengan membawa misi ini semenjak terjadinya syirik dalam kalangan anak cucu Adam di zaman Nabi Nuh. Nuh 'alaihissalam, diutus kepada mereka sebagai Rasul pertama yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala kepada penduduk bumi sehingga Dia menutup mereka dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang dakwahnya mencakupi jin dan manusia di timur dan barat.

Dan bahawasanya setiap Rasul memiliki tugas (misi) yang sama, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (maksudnya), "Dan Kami tidak mengutuskan seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahawasanya tidak ada Ilah (Tuhan yang berhak disembah dengan benar) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Surah al-Anbiya', 21: 25)" (Tafsir Ibnu Katsir, 4/570)

Atas sebab itu, hendaklah kita istiqamah dalam bertauhid sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, sekaligus menjauhi pelbagai jenis kesyirikan yang banyak berleluasa. Dengan sebab itu juga, penekanan harus ditumpukan dalam persoalan ini yang merupakan tujuan utama beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam diutuskan kepada kita semua.

Hanya dengan agama yang didirikan dan ditegakkan di atas prinsip-prinsip sunnah yang betul, maka ia akan diberikan kejayaan dengan mendapat pertolongan Allah. Maka, hendaklah kita menegakkan agama Allah ini dengan kebenaran dan tidak menegakkannya dengan kepalsuan yang diada-adakan (bid'ah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (maksudnya), "Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, nescaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah kerana sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." (Surah Muhammad, 47: 7)

Tiada ulasan: